Pertanyaan-pertanyaan yang sering muncul mengenai qadha sholat bagi wanita , diantaranya:
وَنَصَّ فِيمَا إذَا أَدْرَكَتْ مِنْ أَوَّلِ الْوَقْتِ قَدْرَ الْإِمْكَانِ ثُمَّ حَاضَتْ أَنَّهُ يَلْزَمُهَا الْقَضَاءُ. (المجموع شرح المهذب، للنووي، 4/ 368)
Nash dari Imam Syafii, bahwa perempuan jika mendapati awal waktu shalat dan dia bisa shalat seharusnya, lantas haid. Maka nanti jika suci dia wajib qadha’.
Sebab saat itu ia masih berada pada taraf zhan (praduga) akan kesucian dirinya. Sementara bersuci haruslah dikerjakan saat ia merasa yakin akan hilangnya mani’ (penghalang) dari dirinya.
Ulama mazhab Syafii, Syeikh Zainuddin Al-Malibari menyatakan shalat yang tertinggal tanpa uzur harus di kerjakan sesegera mungkin.
Begitu pula orang yang meninggalkan shalat sebab uzur seperti lupa, tertidur, ataupun perempuan haid. Ketika dirinya telah terlepas dari uzur, maka ia harus segera menggantinya (qadha).
Rasulullah ﷺ bersabda:
مَنْ نَسِيَ الصَّلَاةَ فَلْيُصَلِّهَا إِذَا ذَكَرَهَا
Barang siapa yang melupakan shalatnya, maka ia menggantinya saat ia mengingatnya (HR. Muslim no. 309).
Shalat bisa kembali dikerjakan usai suci dari haid. Sementara itu, shalat yang ditinggalkan kala haid tidak perlu diganti (qadha). Kendati begitu, Imam Hanbali, Asya’bi dan Qatadah mewajibkan qadha atau mengganti shalat yang ditinggalkan seorang wanita. Shalat yang dimaksud adalah shalat yang ditinggalkan sebelum wanita tersebut benar-benar mengeluarkan darah haid padahal sudah masuk waktu shalat.
Jika shalat yang ditinggalkan selama masa haid harus diganti (qadha) seluruhnya tentu akan terasa sangat berat bagi wanita.
Sementara puasa yang ditinggalkan kala haid wajib diganti. Ini didasarkan pada hadis Rasulullah Saw. Diriwayatkan dari Muadzah bahwa dirinya pernah bertanya kepada Aisyah, istri Rasulullah Saw.
“Mengapa wanita haid itu mengqadha puasa, tapi tidak mengqadha shalat?” Aisyah bertanya, “Apakah engkau wanita Haruriyyah?” Aku menjawab, “Aku bukan wanita Haruriyyah. Aku cuma bertanya.” Aisyah berkata, “Dahulu (pada zaman Rasulullah) saat kami mengalami haid, kami diperintahkan untuk mengqadha puasa dan kami tidak diperintahkan untuk mengqadha shalat.” (HR Muslim).
Aisyah RA juga tidak menjelaskan mengapa perempuan yang haid tidak perlu mengqadha shalat, ia hanya mengatakan bahwa di masa Nabi, beliau tidak pernah memerintahkan para perempuan yang haid untuk mengqadha shalat.
Meskipun demikian, sesungguhnya ada hikmah luar biasa dari ketetapan ini, sebagaimana yang dikatakan Prof. Quraish Shihab. Shalat dilaksanakan lima kali dalam sehari. Jika seorang perempuan haid selama tujuh hari, berarti ia harus mengqadha shalat sebanyak 35 kali. Lalu bagaimana jika ia haid selama 14 hari? Maka kewajiban mengqadhanya menjadi dua kali lipat. Apalagi perempuan biasanya mengalami haid setiap bulan. Betapa beratnya kewajiban qadha shalat yang harus ditunaikannya.
Berbeda dengan puasa Ramadhan, puasa Ramadhan hanya diwajibkan sebulan dari 12 bulan. Jika pada bulan itu perempuan mengalami haid selama tujuh hari, maka ia wajib mengqadha tujuh puasa dalam tempo satu tahun. Jangka waktu yang cukup lama untuk mengganti tujuh puasa Ramadhan yang ditinggalkannya.
Selain itu, dalam shalat ada ketentuan yang membutuhkan konsentrasi dan kekhusyukan, misalnya ketika shalat kita tidak boleh berjalan-jalan, sedangkan ketika berpuasa kita boleh berjalan-jalan. Saat shalat kita tidak boleh tertawa, sedangkan ketika saat berpuasa kita boleh tertawa. Sehingga mengqadha puasa akan terasa lebih mudah dibanding mengqadha shalat.
Argumen yang disampaikan Prof. Quraish Shihab ini juga sejalan dengan apa yang dikemukakan al-Mawardi dalam kitab al-Haawi al-Kabiir.
وَالْفَرْقُ بَيْنَ الصَّلَاةِ فِي الْقَضَاءِ وَالصَّوْمِ فِي وُجُوبِ الْقَضَاءِ لُحَوْقُ الْمَشَقَّةِ فِي قضائها للصلاة دون الصيام فزادت المشقة فِي قَضَائِهَا وَقَلِيلَةُ الصِّيَامِ وَعَدَمُ الْمَشَقَّةِ فِي قَضَائِهِ.
“Perbedaan antara qadha shalat dan kewajiban qadha puasa bagi perempuan haid adalah adanya masyaqqah untuk mengqadha shalat (setelah bersuci). Berbeda dengan puasa, (Jika perempuan haid) wajib mengqadha shalat yang ditinggalkan maka akan bertambah masyaqqahnya. Dan sedikitnya puasa dan tidak ada masyaqqah dalam mengqadhanya”
Sesungguhnya agama tak pernah memberatkan, melainkan selalu memudahkan pemeluknya. Rasulullah SAW bersabda
إِنَّ الدِّينَ يُسْرٌ، وَلَنْ يُشَادَّ الدِّينَ أَحَدٌ إِلَّا غَلَبَهُ، فَسَدِّدُوا وَقَارِبُوا، وَأَبْشِرُوا، وَاسْتَعِينُوا بِالْغَدْوَةِ وَالرَّوْحَةِ وَشَيْءٍ مِنَ الدُّلْجَةِ
Nah itulah Hukum mengqadha sholat bagi wanita haid, jadi sesungguhnya perintah Allah yang memilki ketentuan waktu dalam shalat ini tidaklah memiliki konsekuensi qadha. Maksud qadha ini bukan karena meninggalkan sesuatu yang wajib. Namun,karena kewajiban qadha datang dengan perintah tersendiri.Oleh karena itu, apabila seseorang meninggalkan shalat tanpa alasan yang dibenarkan dalam syariat (uzur syar’i), maka ia tetaplah berdosa. Dan dosa sebab meninggalkan shalat ini tidak bisa terhapuskan begitu saja hanya dengan mengqadhanya,tetapi baru bisa terhapus dengan bertaubat.Terkait dengan perempuan yang tengah menunggu waktu suci, dia tetap wajib mengqadha shalat yang ia tinggalkan ketika masa menunggu. Misalnya, seorang perempuan di waktu maghrib telah berhenti keluar darah haid. Namun, ia belum yakin benar bahwa darah haidnya tidak akan keluar lagi. Untuk memastikan dirinya bersih dari haid, maka ia menunggu sampai waktu Subuh.