Perbedaan Sistematika Skripsi Kuantitatif dan Kualitatif: Dari Bab 1 Sampai Penutup (Versi yang Bikin Kamu Ngakak Tapi Tetap Ngeh)
Skripsi, oh skripsi...
Mahluk mitos yang katanya bikin mahasiswa berubah dari happy go lucky jadi coffee addict insomnia edition. Tapi tenang, yuk kita bahas bedah skripsi ala kuantitatif vs kualitatif—dari Bab 1 sampai penutup. Dijamin kamu bakal ngerti bedanya, dan siapa tahu malah jadi ketawa sendiri.
BAB 1: Pendahuluan – Ajang Kenalan yang Penuh Drama
Kuantitatif:
Kayak orang ngelamar kerja. Langsung to the point.
-
Latar belakang? Jelasin masalah kayak kamu presentasi KPI.
-
Rumusan masalah? Pertanyaan yang jelas, padat, dan bikin dosen senyum.
-
Hipotesis? Ini mah wajib. Harus punya dugaan ilmiah, bukan dugaan mantan mau balikan.
-
Tujuan, manfaat, dan ruang lingkup? Semua dibikin rapi kayak struktur organisasi kantor.
Kualitatif:
Kayak curhat ke sahabat lama.
-
Latar belakang? Bisa satu novel, asal masuk akal.
-
Rumusan masalah? Nggak harus dalam bentuk pertanyaan, yang penting nendang.
-
Nggak ada hipotesis! (Yes, selamat datang di dunia bebas praduga.)
-
Tujuan dan manfaat? Lebih fleksibel, kadang bahkan filosofis. Cocok buat yang suka mikir di bawah pohon.
BAB 2: Tinjauan Pustaka – Koleksi Kutipan Idaman
Kuantitatif:
Serius dan struktural. Teori dibedah satu per satu. Ada kerangka berpikir dan kadang model konseptual yang bikin kamu belajar lebih keras dari anak teknik pas UTS.
Kualitatif:
Teori tetap penting, tapi lebih longgar. Kayak kamu lagi ngobrol di kafe bahas topik favorit, terus nyebut-nyebut pendapat tokoh-tokoh hebat. Lebih lentur, tapi tetep harus ilmiah, ya—bukan cuma katanya “netijen”.
BAB 3: Metodologi – Siapa Lo dan Apa Maumu
Kuantitatif:
-
Jenis penelitian? Eksperimen, survei, dan kawan-kawan.
-
Populasi dan sampel dihitung pakai rumus—statistik banget!
-
Teknik analisis data? Ada SPSS, uji-t, regresi, sampai korelasi cinta (eh, data maksudnya).
Kualitatif:
-
Jenis penelitian? Studi kasus, etnografi, fenomenologi—pokoknya yang bikin kamu jadi detektif lapangan.
-
Partisipan? Dipilih pakai teknik purposive atau snowball, bukan undian berhadiah.
-
Analisis data? Koding, kategorisasi, dan narasi. Kayak jadi editor cerita hidup orang.
BAB 4: Hasil dan Pembahasan – Saatnya Kamu Bersinar (atau Gelisah)
Kuantitatif:
Hasil ditampilkan pakai tabel, grafik, dan angka-angka yang bisa bikin pusing kalau kamu salah input. Dosen seneng kalau kamu bisa buktikan hipotesismu valid. Diskusinya? Jangan cuma “data berkata begitu”, harus dijelaskan sampai dosen bilang, “Wah, ini baru mahasiswa!”
Kualitatif:
Bebas tapi berbobot. Narasi panjang, kutipan partisipan, dan analisis mendalam. Rasanya kayak kamu lagi nyeritain kisah hidup seseorang dan membedah makna di baliknya. Cocok buat kamu yang jago storytelling.
BAB 5: Penutup – Akhir yang Membekas
Kuantitatif:
-
Kesimpulan harus sesuai data dan hipotesis.
-
Saran bisa untuk peneliti selanjutnya, atau buat dunia pendidikan, dunia kerja, dan dunia yang penuh cinta (eh).
Kualitatif:
-
Kesimpulan lebih reflektif, berdasarkan temuan dan makna.
-
Saran? Kadang filosofis, kadang sosial, kadang personal. Yang penting ngena.
Lampiran dan Daftar Pustaka: Teman Setia di Ujung Jalan
Keduanya wajib punya ini. Tapi biasanya anak kuantitatif bawa print-an SPSS tebal kayak ensiklopedia, sementara anak kualitatif bawa transkrip wawancara yang bisa buat naskah film indie.
Kesimpulan Ala-Ala:
Skripsi kuantitatif itu kayak masak mie instan pakai takaran pas: 2 gelas air, 3 menit, selesai.
Skripsi kualitatif itu kayak bikin sup rahasia keluarga: lama, penuh bumbu, tapi rasanya dalam.
Jadi, apapun metode yang kamu pilih, inget: skripsi itu bukan akhir hidup—cuma awal kamu jadi sarjana plus pejuang wacana. Semangat, calon wisudawan!